Instrumen Likuiditas, Institusi dan Peraturan Perundang-Undangan Terkait dengan Perbankan Syari’ah

  1. I.              PENDAHULUAN

Bank pada hakikatnya adalah lembaga intermediasi antara para penabung dan investor. Tabungan hanya akan berguna bila diinvestasikan, sedangkan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses. Nasabah mau menyimpan dananya di bank karena ia percaya bahwa bank dapat memilih alternatif investasi yang menarik.

Proses pemilihan investasi itu harus dilakukan dengan saksama karena kesalahan dalam pemilihan bentuk investasi akan membawa akibat bank akibat bank tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada para nasabahnya. Pada umumnya, bank mengkoordinasikan fungsi tersebut melalui apa yang disebut assets/liabilities management committee.

Tugas utama manajemen aset/liabilitas adalah memaksimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang dihidapi oleh bank konvensional juga dihadapi oleh bank syariah, kecuali risiko tingkat bunga, karena prinsip profit and loss sharing yang menjadi landasan sistem operasionalnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. II.            PEMBAHASAN
  • Giro Wajib Minimum (GWM)

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia  No. 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum (GWM) bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing:

–       Pasal 1 ayat 4: Giro Wajib Minimum (statutory reserve), atau yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK (Dana Pihak Ketiga).

–       Pasal 1 ayat 5: Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.

–       Pasal 1 ayat 6: Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern.

–       Pasal 1 ayat 7: Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern.

 

Pemenuhan Ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM)

Sebagaimana telah ditetapkan dalam PBI NO.10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008, ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah telah ditetapkan sebesar 7,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK).  Selanjutnya, dalam rangka memberikan fleksibilitas bagi bank dalam pengelolaan likuiditasnya, Bank Indonesia menyempurnakan cara pemenuhan ketentuan GWM Rupiah dimaksud menjadi sebagai berikut:

  1. GWM Rupiah yang telah ditetapkan sebesar 7,5% tersebut terdiri dari GWM utama (statutory reserve) dan GWM sekunder (secondary reserve) dengan rincian:
    1. 5% berupa GWM utama (statutory reserve) berupa simpanan giro di Bank Indonesia. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Oktober 2008.
    2. 2,5% berupa GWM sekunder (secondary reserve) dalam bentuk SBI dan atau SUN dan atau simpanan giro di Bank Indonesia.
  2. Masa transisi untuk pemenuhan secondary reserve ditetapkan selama 1 tahun sejak berlakunya ketentuan atau selambat-lambatnya tanggal 24 Oktober 2009.
  3. Bank yang belum dapat memenuhi kewajiban secondary reserve dalam masa transisi tidak dikenakan sanksi.
  4. Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro (remunerasi) atas saldo simpanan giro bank di Bank Indonesia maupun atas secondary reserve.
  • Kliring

Kliring adalah pertukaran warkat (bisa berupa cek, giro/bilyet, nota debet/kredit dan lainnya) atau data keuangan elektronik antar peserta (bank) kliring baik atas nama peserta (bank) maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Jadi, jika ada peserta (bank) kliring yang mengalami kalah kliring itu artinya bank tersebut mendapat banyak kewajiban pembayaran ke sejumlah peserta (bank) kliring lainnya yang tak sebanding dengan hak (tagihan) pembayaran pada satu hari kerja kliring.

Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, mendapatkan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (Pasal 8 butir b). UU ini juga memberi mandat ke BI untuk menyelenggarakan sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan valuta asing (pasal 16). Posisi BI adalah selaku penyelenggara sistem kliring. BI juga bisa menunjuk pihak lain selaku pelaksana kliring antarbank jika di daerah itu tidak ada kantor Bank Indonesia. Misalnya, BI menunjuk sebuah bank di kota Magelang sebagai pelaksana kliring di wilayah tersebut.

Lalu mengapa BI menyelenggarakan sistem kliring antar bank? Jawabnya untuk mempermudah cara pembayaran dalam rangka memperlancar transaksi perekonomian dengan perantaraan perbankan sebagai peserta kliring dan BI sebagai penyelenggara kliring. Dengan adanya kliring antarbank diharapkan pemakaian alat-alat lalu lintas pembayaran giral (cek, bilyet giro, nota debet, nota kredit dan lainnya) akan meningkat. Dari sini diharapkan akan terjadi lonjakan pula simpanan dana masyarakat di bank yang nantinya dapat dipakai untuk membiayai sektor-sektor produktif di masyarakat. Sistem kliring yang dilaksanakan BI saat ini sudah dapat berlangsung secara nasional melalui Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI). Maksudnya, proses kliring baik kliring debet maupun kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.

Selain itu ada tiga sistem kliring lain yang lazim dikenal, yakni Sistem manual, Sistem Semi Otomasi, dan Sistem Otomasi. Kliring manual adalah penyelenggaraan kliring lokal yang dalam perhitungan, pembuatan bilyet saldo kliring serta pemilihan warkat dilakukan secara manual oleh setiap peserta kliring. Perhitungan kliring didasarkan pada warkat yang dikliringkan oleh peserta kliring. Sedangkan sistem semi otomasi adalah kliring lokal yang perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring dilakukan secara otomasi melalui alat bantu komputer. Namun pemilihan warkat tetap dilakukan secara manual oleh bank peserta kliring. Sementara sistem kliring lokal yang dalam perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring dan pemilahan warkat dilakukan secara otomatis dengan bantuan komputer.

Dalam proses kliring terkadang ada warkat (bilyet giro atau cek) yang dikeluarkan seorang nasabah bank (penarik) ditolak oleh bank (tertarik) karena sejumlah sebab. Alasan yang kerap muncul adalah karena di rekening si penarik tak cukup dana untuk melakukan proses kliring. Jika si penarik tadi mengeluarkan kembali bilyet giro atau cek yang tak disertai dana yang cukup akan dikenakan sanksi masuk daftar hitam. Konsekuensi seseorang masuk dalam daftar hitam, ia tak bisa membuka rekening giro di bank manapun di satu wilayah untuk kurun waktu tertentu.

 

  • Pasar Uang Antar Syariah (PUAS) – Islamic Money Market
  1. A.   Kebutuhan Bank Syariah Terhadap Pasar Uang

Tugas utama manajemen bank, tidak terkecuali bank syariah, adalah memaksimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat  semuanya menarik nasabah untuk menyimpan datanya di bank tanpa adanya keyakinan bahwa dana itu dapat diinvestasikan secara menguntungkan dan dapat dikembalikan ketika dana itu sewaktu-waktu ditarik oleh nasabah atau dana tersebut telah jatuh tempo. Di samping itu, manajemen juga harus secara simultan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan berpengaruh pada perubahan tingkat laba yang diperoleh.

Salah satu kendala operasional yang di hadapi oleh perbankan syariah adalah kesulitan mereka mengendalikan likuiditasnya secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana deposito yang diterimanya. Dana-dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa hari sehingga mengurangi rata-rata pendapatan mereka.
  2. Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan pada saat ada peanrikan dana dalam situasi kritis. Akibatnya, bank-bank syariah menahan alat likuidnya dalam jumlah yang lebih besar dari pada rata-rata perbankan konvensional. Sekali lagi, kondisi inipun menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatn bank. Deposan yang hanya mencari keuntungan cenderung memindahkan dananya ke bank lain, sedangkan nasabah yang loyal mendapat kesan bahwa mengikuti prinsip syariah berarti menambah beban.

Tanpa adanya pasar uang fasilitas pasar uang, bank konvensionalpun akan menghadapi masalah yang sama, mengingat pada umumnya perbankan sulit menghindari posisi keuangan yang mismatched. Untuk memanfaatkan dan yang sementara idle itu, bank dapat melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dan untuk likuiditas jangka pendek karena mismatch, bank juga dapat memperolehnya di pasar uang. Karena surat-surat berharga yang ada di pasar keuangan  konvensional, kecuali saham, berbasis pada sistem bunga, perbankan syariah menghadapi kendala, hal ini mengingat bahwa bank syariah tidak diperbolehkan untuk menjadi bagian dari aktiva atau pasiva yang berbasis bunga. Masalah ini berdampak negative bagi pengelolaan likuiditas maupun pengelolaan investasi jangka panjang. Akibatnya, perbankan syariah terpaksa hanya memusatkan portofolio mereka pada aktiva jangka pendek, yang terkait dengan perdagangan dan berlawanan dengan keperluan investasi dan pembangunan ekonomi.

Walaupun manajemen talah berhasil menciptakan pasar bagi perbankan syariah, namun mereka belum mencapai kedalaman pasar yang menjamin keuntungan (provitability) dan kelangsungan usaha (viability)  jangka panjang. Cepat atau lambatnya mereka keluar dari masalah ini akan bergantung pada kecepatan, agresivitas, dan efektivitas mereka membangun instrument dan teknik yang memungkinkan tercapainya fungsi intermediasi dua arah bagi perbankan syariah. Mereka harus menemukan jalan alat pengembangan insrumen keuangan berbasis syariah yang marketable, di mana portofolio yang dihasilkan oleh perbankan syariah dapat di pasarkan di pasar keuangan yang lebih luas.

  1. B.   Strategi pengembangan pasar uang berbasis syariah
  2. 1.    Penciptaan instrument uang syariah

Sebagaimana telah di uraikan di atas, surat-surat berharga yang beredar di pasar keuangan konvensional adalah surat-surat berharga berbasis bunga sehingga perbankan syariah tidak dapat  memanfaatkan pasar uang yang ada. Kalaupun ada juga saham sebagai surat tanda penyertaan modal yang berbasis bagi hasil, masih memerlukan penelitian, apakah obyek pernyataan tersebut terbebas dari kegiatan yang tidak di setujui oleh Islam. Dengan kata lain harus ada kepastian bahwa emiten tidak menyelenggarakan perniagaan barang-barang yang dilarang oleh syariah islam atau mengandung unsur riba.

Oleh karena itu, untuk menciptakan pasar uang yang bermanfaat bagi perbankan syariah, harus dikembangkan instrument pasar uang yang berbasis syariah , dengan aktifnya instrument pasar uang yang berbasis syariah, perbankan syariah dapat melaksanakan fungsinya secara penuh, tidak saja dalam menfasilitasi perdagangan jangka pendek, tetapi juga berperan dalam investasi jangka panjang. Struktur keuangan dari proyek-proyek pembangunan berbasis syariah akan memperkaya piranti keuangan syariah dan membuka partisipasi lebih besar dari seluruh pelaku pasar, tidak terkecuali non muslim, karena pasar tersebust bersifat terbuka.

Perbedaan pokok antara lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional adalah dilarangnya riba (bunga) pada lembaga keuangan syariah, baik riba nasi’ah yaitu riba pada pinjaman-pinjaman uang (qardh), maupun riba fadli, yaitu riba dalam perdagangan.

Pinjaman-pinjaman uang untuk memperoleh imbalan (keuntungan) dilarang. Pendapatan atau keuntungan hanya boleh diperoleh dengan bekerja atau melakukan kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh islam. Untuk menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh syariah Islam tersebut, piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh aktiva, proyek aktiva atau transaksi jual beli yang melatar belakangi (underlying transaction) secara halal.

Piranti keuangan itu dapat dibentuk  melaui sekuritisasi aktiva atau proyek aktiva (asset securitization), yang merupakan bukti penyertaan, baik dalam bentuk penyertaan musyarakah (manajement share), yang meliputi modal tetap (fixed capital) dengan hak mengelola, mengawasi, dan hak suara dalam pengambilan keputusan (voting right), mapun dalam penyertaan mudharabah (participation share), yang mewakili modal kerja (variable capital) dengan hak atas modal dan keuntungan dari modal tersebut, tetapi tanpa voting right.

 

  1. 2.    Mekanisme Operasi Pasar Keuangan Syariah

Mekanisme perdagangan surat-surat berharga berbasis syariah harus tetap berkaitan dan berada dalam batas-batas toleransi dan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh syariah, seperti berikut ini:

  1. Fatwa ulama pada simposium yang disponsori oleh Dallah al-Baraka Group pada bulan November 1984  di Tunis menyatakan, “Diperbolehkan menjual bagian modal dari setiap perusahaan di mana setiap manajement perusahaan tetap berada di tangan pemilik  nama dagang (owner of tradename) yang telah terdaftar secara legal. Pembeli hanya mempunyai hak atas bagian modal dan keuntungan tunai atas modal tersebut tanpa hak pengawasan atas manajement atau pembagian asset, kecuali untuk menjual bagian saham yang mewakili kepentingannya.
  2. Lokakarya ulama tentang reksadana syariah, peluang dan tantangannya di Indonesia, di Jakarta tanggal 30-31 juli 1997, telah di perbolehkan diperdagangkannya reksadana yang berisi surat-surat berharga dari perusahaan-perusahaan yang produk maupun operasinya tidak bertentangan dengan syariah.

Seseorang akan tertarik menanamkan dananya pada instrument keuangan apabila dapat diyakini bahwa instrument tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan efektif dari investasinya. Oleh karena itu, setiap instrument keuangan harus memenuhi beberapa syarat , antara lain:

  • Pendapatan yang baik (good return),
  • Risiko yang rendah (low risk),
  • Mudah dicairkan (redeemable)
  • Sederhana (simple)
  • Fleksible

Dalam rangka memenuhi syarat-syarat tersebut, tanpa mengabaikan batas-batas yang diperkenanakan oleh syariah, diperlukan adanya suatu special purpose company (selanjutnya disebut “company”) dengan fungsi sebagai berikut:

1)    Memastikan keterkaitan antara sekuritisasidan aktivitas produktif atau pembangunan proyek-proyek asset baru, dalam rangka penciptaan pasar primer melalui kesempatan investasi baru dan menguji kelayakan (feasibility)-nya. Tahap ini disebut “transaction making” yang didukung oleh initial investor.

2)    Menciptakan pasar sekunder yang dibangun melalui berbagai pendekatan yang dapat mengatur dan mendorong terjadinya consensus perdagangan antara para dealer, termasuk fasilitas pembelian kembali (redemption).

3)    Menyediakan layanan kepada nasabah dengan mendirikan lembaga pembayar (paying agent).

 

  • Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah:

–       Pasal 1 ayat 4: Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBSI adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

–       Pasal 1 ayat 6: Transaksi Repurchase Agreement SBSI yang selanjutnya disebut Repo SBSI adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS dan UUS dengan agunan SBSI (collateralized borrowing).

–       Tujuan penerbitan SBIS dalam pasal 2: SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrument operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.

 

  • Komite Perbankan Syari’ah (KPS)

Satu-satunya pemegang fatwa syariah adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk  perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka penyusunan PBI, BI  membentuk Komite Perbankan Syariah (KPS) yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah.

.

  • Dewan Pengawas Syariah (DPS)
  1. A.   Sejarah dan Latar Belakang

Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.

  1. B.     Peran utama dan tugas Dewan Pengawas Syariah:
    1.   Mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.

Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.

  1.   Membuat pernyataan berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketenyuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan.
  2.   Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.

Dengan demikian, Dewan Pengawas  Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan diwafatkan oleh Dewan Syariah Nasional.

  • Dewan Syariah Nasional (DSN)
  1. A.   Sejarah dan latar belakang

Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk didalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.

Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majlis Ulama Indonesia dipimpin oleh Majlis Ulama Indonesia dan Sekretaris (exofficio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.

 

  1. B.   Fungsi utama dan tugas Dewan Syariah Nasional
    1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Lembaga ini tidak hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
    2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.
    3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
    4. Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jika lembaga keuangan  syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang  tidak sesuai dengan syariah.

 

  • UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
  1. Bentuk badan hukum Bank adalah Perseroan Terbatas;
  2. Muatan anggaran dasar Bank;
  3. Tambahan kategori pemilik Bank yaitu Pemerintah Daerah;
  4. Pencantuman kata syariah sesudah kata “Bank” atau setelah “nama Bank”;
  5. Calon anggota DPS harus mendapat rekomendasi dari MUI; dan
  6. f.   Pengaturan mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan Bank (self  liquidation).
  • UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan

UU ini merupakan perubahan dari UU No. 7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

  1. Pasal 6 mempertegas bahwa: pertama, Bank Umum  adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  2. Pasal satu ayat 13 menjelaskan yang dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaaan prinsip bagi hasil (Mudharabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilih (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
  • Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Beberapa peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan Syariah:

  1. PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana serta pelayanan jasa bank syariah.
  2. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas perubahan peraturan bank Indonesia No. 6/24/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
  3. PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah.

 

  1. III.           KESIMPULAN

–       GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK (Dana Pihak Ketiga).

–       GWM Rupiah yang telah ditetapkan sebesar 7,5% tersebut terdiri dari 5% GWM utama (statutory reserve) dan 2,5% GWM sekunder (secondary reserve).

–       Kliring adalah pertukaran warkat (bisa berupa cek, giro/bilyet, nota debet/kredit dan lainnya) atau data keuangan elektronik antar peserta (bank) kliring baik atas nama peserta (bank) maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

–       Tujuan BI menyelenggarakan sistem kliring adalah untuk mempermudah cara pembayaran dalam rangka memperlancar transaksi perekonomian dengan perantaraan perbankan sebagai peserta kliring dan BI sebagai penyelenggara kliring.

–       Dalam rangka penyusunan PBI, BI  membentuk Komite Perbankan Syariah (KPS) yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah.

–       Selain KPS teradapat pula DSN dan DPS yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

 

  1. IV.          DAFTAR PUSTAKA

Leave a comment